Ilustrasi pulau kecil Banda Neira |
Pada satu masa, Pulau Run, sebuah pulau kecil di Kepulauan Banda, Maluku, bernilai lebih tinggi daripada kota New York di Pulau Manhattan yang kala itu dinamakan Nieuw Amsterdam.
Itulah ironi sejarah, pada paruh terakhir abad ke-17, bangsa Inggris dan Belanda berulang kali terlibat perebutan daerah penghasil rempah. Semasa itu, sekantong rempah bernilai lebih mahal dari sekantong emas dengan bobot yang sama!
Serikat Dagang Hindia Timur Belanda (VOC) dan Serikat Dagang Hindia Timur Inggris (EIC) bersaing ketat dan sering terlibat konflik terbuka. Bahkan, terjadi pembantaian warga Inggris di benteng Belanda di Ambon yang dikenal sebagai Amboyna Massacre yang memicu kemarahan Inggris.
Perebutan rempah oleh bangsa Eropa di masa silam bisa diibaratkan persaingan di abad ke-20 dan ke-21 untuk memperebutkan sumber minyak Timur Tengah oleh negara maju dan sesama bangsa Arab.
”Pada tahun 2600 sebelum Masehi bangsa Mesir diketahui menggunakan rempah dari Asia untuk para pekerja yang membangun piramida agar memberi kekuatan tertentu. Dari bukti arkeologis diketahui rempah-rempah itu berasal dari Maluku. Konon urusan rempah ini turut membuat bangsa Aria hijrah ke wilayah Anak Benua, yakni India,” ujar Kowaas yang buku perjalanannya dengan Kapal Dewa Rutji akan diterbitkan ulang oleh Penerbit Buku Kompas.
Catatan perjalanan Marco Polo ke Asia menjadi acuan bagi bangsa-bangsa Eropa yang berusaha mencari jalan ke Asia dan sumber rempah-rempah. Ketika itu, pada masa Medieval, perdagangan di Timur Jauh dan Timur Tengah dikuasai bangsa Tionghoa, Arab, India, dan di Eropa para saudagar Venisia.
Setelah Khalifah Barat, yakni wangsa Umayah, dikalahkan bangsa Spanyol dan Portugis di Semenanjung Andalusia, barulah bangsa-bangsa di Eropa Barat berlomba mencari jalan ke Timur Jauh, negeri sumber rempah.
Bandar Malaka direbut Portugis tahun 1511 sebagai pembuka jalan ke Kepulauan Maluku. Pada tahun 1512, Banda dan Maluku akhirnya ditemukan pelaut Portugis. Terbukalah perdagangan langsung bangsa Barat ke sumber rempah-rempah.
Pertarungan Spanyol dan Portugis berlangsung hingga seabad lamanya. Pada peralihan abad ke-16, kekuatan maritim sudah beralih kepada dua kekuatan baru: Inggris dan Belanda.
Inggris dengan EIC-nya bersaing ketat dengan VOC di Samudra Hindia hingga kepulauan Nusantara.
”VOC akhirnya menguasai Kepulauan Banda dan Maluku di abad ke-17. Namun, Pulau Run dan Ai di Banda dikuasai EIC. Itu sangat mengganggu VOC yang ingin menguasai perdagangan rempah Nusantara,” Kowaas menerangkan lebih lanjut.
Setelah berulang kali terjadi pertikaian dan Perang Anglo-Belanda kedua (1664-1667), dicoba dicari kompromi antara EIC dan VOC dalam perjanjian Breda.
Disepakati VOC menyerahkan koloni Nieuw Amsterdam kepada EIC. Sebaliknya, EIC menyerahkan Pulau Run dan koloni Suriname ke tangan VOC. Peristiwa itu dikukuhkan dalam sebuah traktat tahun 1674.
Di atas kertas, VOC untung besar karena seluruh kepulauan rempah berada di bawah kendalinya. Akan tetapi, EIC yang mendapat Nieuw Amsterdam, yang kemudian mereka beri nama New York, berpikir untuk jangka panjang dengan membangun sebuah kota perdagangan.
Sejarah modern berbicara lain. Selepas revolusi industri, kemakmuran didapat dari menjual produk akhir yang langsung dinikmati konsumen ataupun mengembangkan sektor jasa seperti terjadi di New York.
Banda, seperti bagian lain dari Republik Indonesia, masih mengandalkan ekonomi dari menjual bahan mentah dan tidak menambah nilai ekonomis hingga menjadi barang siap konsumsi. Pala, cengkeh, karet, kina, teh, dan kopi semua dijual dalam produk mentah demi segera mendapat keuntungan yang tidak seberapa. Selanjutnya, produk siap konsumsi kembali diimpor bangsa Indonesia dengan harga lebih mahal!
Kini, tiga abad lebih, barter Banda dan New York berlalu. Kepulauan Banda semakin sunyi, sedangkan New York menjadi salah satu pusat perdagangan dan kebudayaan dunia. Sebuah ironi sejarah. (Iwan Santosa)
Sumber: Kompas
Tag :
Sejarah