Alih Fungsi Hutan Jadi Penyebab
Dalam rapat terbatas Bidang Kesejahteraan Rakyat di Istana Negara, Jakarta, Kamis, Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring menyatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menginstruksikan agar para menteri turun ke daerah-daerah yang terjadi bencana untuk melihat langsung apa yang bisa dilakukan.
Menteri Sosial Salim Segaf Al’Jufrie kepada pers sebelumnya mengemukakan, pemerintah belum menetapkan banjir Citarum itu sebagai bencana nasional. ”Banjir masih bersifat lokal dan berskala kecil sehingga masih bisa ditangani oleh pemerintah daerah,” kata Salim.
Rombongan Menhut yang menggunakan helikopter Dauphin AS365 N3 milik Polri dari Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, kemarin, menemukan daerah pegunungan di hulu DAS Citarum yang terancam ekspansi lahan pertanian, galian pasir, dan permukiman penduduk. Tegakan pohon pun tidak lagi terlalu rapat, bahkan beberapa bagian punggung gunung sudah menjadi areal pertanian. Rombongan sebelumnya singgah di Waduk Jatiluhur, Purwakarta, untuk melihat dam penampungan air terakhir di DAS Citarum, setelah Waduk Cirata, dan Saguling.
”Seluruh pemangku kepentingan harus bekerja sama memperbaiki hulu DAS Citarum untuk mencegah bencana yang lebih besar,” kata Menhut Zulkifli Hasan.
Dengan kondisi alam seperti itu, dipastikan hutan tak mampu lagi menahan curah hujan tinggi dan memicu Bendungan Cirata, Saguling, dan Jatiluhur meluap serta membanjiri daerah hilir, seperti Karawang dan Bekasi.
Pangan terancam
Ketua Harian Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jabar Entang Sastraatmadja, kemarin, mengingatkan seriusnya ancaman terhadap ketahanan pangan tersebut.
Sebab, menurut Entang, akibat banjir Citarum kali ini, sekitar 250 km atau 70 persen dari total 350 km jaringan irigasi di Jabar saat ini sudah tidak berfungsi. Akibatnya, saluran irigasi tidak optimal menyalurkan air dari sungai.
Kerusakan saluran pembuangan terparah terjadi di Kabupaten Bandung dan kawasan pertanian di pesisir utara Jabar, yaitu Karawang, Cirebon, hingga Indramayu.
Wali Ketua Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Jabar Rali Sukari menilai, salah satu faktor penyebab tidak berfungsinya saluran irigasi adalah alih fungsi lahan di sekitar DAS Citarum menjadi permukiman penduduk.
Selain itu, sejak tahun 1990 tidak ada lagi pembangunan irigasi, kecuali sekadar perawatan secara parsial. Bappeda Jabar mencatat, tingkat alih fungsi lahan pertanian di Jabar berkisar 4.000-5.000 ha per tahun.
Berdasarkan ramalan I 2010 Badan Pusat Statistik (BPS) Jabar, produksi padi Jabar tahun ini diprediksi turun 3,1 persen, dari 11,1 juta ton pada 2009 menjadi 10,92 juta ton. Salah satu penyebabnya, banyaknya lahan sawah puso akibat kebanjiran.
Ketua KTNA Jabar Oo Sutisna menilai, kontribusi Jabar terhadap produksi padi nasional akan makin turun. Sekitar tahun 2000, Jabar menyumbang 22 persen produksi padi nasional, tetapi kini hanya sekitar 18 persen.
Kondisi DAS
Dari pemantauan lapangan terungkap, DAS Citarum dengan 12 subdaerah aliran sungai telah dirambah untuk kepentingan bisnis dan diduga melanggar asas konservasi DAS Citarum.
Dari keseluruhan areal DAS Citarum, hanya 158.174 ha (22 persen) berstatus hutan negara sedangkan 560.094 ha lagi dikuasai masyarakat atau perusahaan. Sedikitnya 30 persen dari 166.611 ha hutan di hulu DAS Citarum rusak. Demikian juga areal masyarakat dan perusahaan, ada 69 persen lahan yang rusak.
Saat rombongan berada di kawasan Cagar Alam Gunung Tilu, kaki gunung tersebut sudah dipadati permukiman dan lahan pertanian semusim yang terhampar bagai permadani hijau. Tak jauh dari Jatiluhur, dari helikopter Menhut juga menyaksikan ada penambangan pasir di punggung gunung dengan dua ekskavator dan sejumlah truk. Rombongan juga menemukan kawasan Gunung Ceremai, Kuningan, Jabar, yang juga gundul.
Buruknya kondisi DAS dikuatkan pakar hidrologi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Sutopo Purwo Nugroho. Menurut dia pengurangan tutupan hutan di DAS Citarum terus terjadi dalam jumlah besar sejak 1983.
Perubahan tutupan lahan di bagian hulu Waduk Saguling dan Cirata juga terlihat nyata di Garut dan perbatasan antara DAS Citarum dan Cimanuk.
Kian parah
Memasuki hari kedelapan banjir di Karawang, Kamis, makin parah. Tinggi muka air bendungan utama Waduk Jatiluhur fluktuatif, dari 108,41 meter di atas permukaan laut (mdpl) pada Minggu malam, turun menjadi 108,27 mdpl pada Rabu siang, dan naik lagi menjadi 108,39 mdpl pada Kamis siang. Kondisi itu membuat debit air yang keluar menuju hilir Sungai Citarum tetap tinggi.
Jumlah pengungsi juga terus bertambah. Berdasarkan data Dinas Sosial Kabupaten Karawang, jumlah rumah tergenang pada Kamis mencapai 22.053 rumah dan dihuni 23.907 keluarga, bertambah dibandingkan dengan sehari sebelumnya yang 15.510 rumah (17.078 keluarga).
Area genangan tersebar di 35 desa/kelurahan di 10 kecamatan, yakni Karawang Barat, Karawang Timur, Teluk Jambe Timur, Teluk Jambe Barat, Ciampel, Batujaya, Pakisjaya, Rengasdengklok, Klari, dan Jayakerta.
Pengungsian baru pun bermunculan. Areal sawah yang terendam juga bertambah dari 817 ha pada Selasa menjadi 859 ha, Kamis siang, dengan usia padi 1-100 hari. Lahan itu tersebar di Kecamatan Pakisjaya, Batujaya, Teluk Jambe Barat, Ciampel, Klari, Karawang Barat, dan Teluk Jambe Timur.
Namun, menurut Kepala Biro Operasi dan Konservasi Perum Jasa Tirta II Sutisna Pikrasaleh, air kiriman dari hulu Sungai Cipamingkis dan Cibeet di daerah Bogor ke aliran Citarum meningkat hingga 400 meter kubik per detik sehingga genangan banjir sulit surut.*sumber: Kompas
Banjir Sungai Citarum makin mencemaskan karena kerusakan simultan dari hulu hingga hilir juga merusak jaringan irigasi. Jika tak segera ditangani, kondisi ini akan mengancam ketahanan pangan Jawa Barat, salah satu lumbung padi nasional.
Dalam peninjauan kawasan hulu dan hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum, Kamis (25/3), bersama Menteri Kehutanan (Menhut) Zulkifli Hasan, Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS) Kementerian Kehutanan Indriastuti, dan Kepala Dinas Kehutanan Jawa Barat (Jabar) Anang Sudarna, muncul kesimpulan bahwa masyarakat yang tinggal di kawasan hilir DAS Citarum juga harus makin waspada karena DAS seluas 718.268,5 hektar (ha), sepanjang 269 kilometer (km), yang melintasi delapan kabupaten/kota itu kondisinya rusak parah.
Dalam rapat terbatas Bidang Kesejahteraan Rakyat di Istana Negara, Jakarta, Kamis, Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring menyatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menginstruksikan agar para menteri turun ke daerah-daerah yang terjadi bencana untuk melihat langsung apa yang bisa dilakukan.
Menteri Sosial Salim Segaf Al’Jufrie kepada pers sebelumnya mengemukakan, pemerintah belum menetapkan banjir Citarum itu sebagai bencana nasional. ”Banjir masih bersifat lokal dan berskala kecil sehingga masih bisa ditangani oleh pemerintah daerah,” kata Salim.
Rombongan Menhut yang menggunakan helikopter Dauphin AS365 N3 milik Polri dari Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, kemarin, menemukan daerah pegunungan di hulu DAS Citarum yang terancam ekspansi lahan pertanian, galian pasir, dan permukiman penduduk. Tegakan pohon pun tidak lagi terlalu rapat, bahkan beberapa bagian punggung gunung sudah menjadi areal pertanian. Rombongan sebelumnya singgah di Waduk Jatiluhur, Purwakarta, untuk melihat dam penampungan air terakhir di DAS Citarum, setelah Waduk Cirata, dan Saguling.
”Seluruh pemangku kepentingan harus bekerja sama memperbaiki hulu DAS Citarum untuk mencegah bencana yang lebih besar,” kata Menhut Zulkifli Hasan.
Dengan kondisi alam seperti itu, dipastikan hutan tak mampu lagi menahan curah hujan tinggi dan memicu Bendungan Cirata, Saguling, dan Jatiluhur meluap serta membanjiri daerah hilir, seperti Karawang dan Bekasi.
Pangan terancam
Ketua Harian Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jabar Entang Sastraatmadja, kemarin, mengingatkan seriusnya ancaman terhadap ketahanan pangan tersebut.
Sebab, menurut Entang, akibat banjir Citarum kali ini, sekitar 250 km atau 70 persen dari total 350 km jaringan irigasi di Jabar saat ini sudah tidak berfungsi. Akibatnya, saluran irigasi tidak optimal menyalurkan air dari sungai.
Kerusakan saluran pembuangan terparah terjadi di Kabupaten Bandung dan kawasan pertanian di pesisir utara Jabar, yaitu Karawang, Cirebon, hingga Indramayu.
Wali Ketua Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Jabar Rali Sukari menilai, salah satu faktor penyebab tidak berfungsinya saluran irigasi adalah alih fungsi lahan di sekitar DAS Citarum menjadi permukiman penduduk.
Selain itu, sejak tahun 1990 tidak ada lagi pembangunan irigasi, kecuali sekadar perawatan secara parsial. Bappeda Jabar mencatat, tingkat alih fungsi lahan pertanian di Jabar berkisar 4.000-5.000 ha per tahun.
Berdasarkan ramalan I 2010 Badan Pusat Statistik (BPS) Jabar, produksi padi Jabar tahun ini diprediksi turun 3,1 persen, dari 11,1 juta ton pada 2009 menjadi 10,92 juta ton. Salah satu penyebabnya, banyaknya lahan sawah puso akibat kebanjiran.
Ketua KTNA Jabar Oo Sutisna menilai, kontribusi Jabar terhadap produksi padi nasional akan makin turun. Sekitar tahun 2000, Jabar menyumbang 22 persen produksi padi nasional, tetapi kini hanya sekitar 18 persen.
Kondisi DAS
Dari pemantauan lapangan terungkap, DAS Citarum dengan 12 subdaerah aliran sungai telah dirambah untuk kepentingan bisnis dan diduga melanggar asas konservasi DAS Citarum.
Dari keseluruhan areal DAS Citarum, hanya 158.174 ha (22 persen) berstatus hutan negara sedangkan 560.094 ha lagi dikuasai masyarakat atau perusahaan. Sedikitnya 30 persen dari 166.611 ha hutan di hulu DAS Citarum rusak. Demikian juga areal masyarakat dan perusahaan, ada 69 persen lahan yang rusak.
Saat rombongan berada di kawasan Cagar Alam Gunung Tilu, kaki gunung tersebut sudah dipadati permukiman dan lahan pertanian semusim yang terhampar bagai permadani hijau. Tak jauh dari Jatiluhur, dari helikopter Menhut juga menyaksikan ada penambangan pasir di punggung gunung dengan dua ekskavator dan sejumlah truk. Rombongan juga menemukan kawasan Gunung Ceremai, Kuningan, Jabar, yang juga gundul.
Buruknya kondisi DAS dikuatkan pakar hidrologi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Sutopo Purwo Nugroho. Menurut dia pengurangan tutupan hutan di DAS Citarum terus terjadi dalam jumlah besar sejak 1983.
Perubahan tutupan lahan di bagian hulu Waduk Saguling dan Cirata juga terlihat nyata di Garut dan perbatasan antara DAS Citarum dan Cimanuk.
Kian parah
Memasuki hari kedelapan banjir di Karawang, Kamis, makin parah. Tinggi muka air bendungan utama Waduk Jatiluhur fluktuatif, dari 108,41 meter di atas permukaan laut (mdpl) pada Minggu malam, turun menjadi 108,27 mdpl pada Rabu siang, dan naik lagi menjadi 108,39 mdpl pada Kamis siang. Kondisi itu membuat debit air yang keluar menuju hilir Sungai Citarum tetap tinggi.
Jumlah pengungsi juga terus bertambah. Berdasarkan data Dinas Sosial Kabupaten Karawang, jumlah rumah tergenang pada Kamis mencapai 22.053 rumah dan dihuni 23.907 keluarga, bertambah dibandingkan dengan sehari sebelumnya yang 15.510 rumah (17.078 keluarga).
Area genangan tersebar di 35 desa/kelurahan di 10 kecamatan, yakni Karawang Barat, Karawang Timur, Teluk Jambe Timur, Teluk Jambe Barat, Ciampel, Batujaya, Pakisjaya, Rengasdengklok, Klari, dan Jayakerta.
Pengungsian baru pun bermunculan. Areal sawah yang terendam juga bertambah dari 817 ha pada Selasa menjadi 859 ha, Kamis siang, dengan usia padi 1-100 hari. Lahan itu tersebar di Kecamatan Pakisjaya, Batujaya, Teluk Jambe Barat, Ciampel, Klari, Karawang Barat, dan Teluk Jambe Timur.
Namun, menurut Kepala Biro Operasi dan Konservasi Perum Jasa Tirta II Sutisna Pikrasaleh, air kiriman dari hulu Sungai Cipamingkis dan Cibeet di daerah Bogor ke aliran Citarum meningkat hingga 400 meter kubik per detik sehingga genangan banjir sulit surut.
Tag :
Berita