Semanis Gula, Segurih Kelapa

loading...

Mbah Tjipto Setiono: 50 Tahun Melukis “Slebor” Becak

YOGYAKARTA - Jangan disangka, gambar atau lukisan yang terpampang di slebor (penutup bagian roda) becak, hanya sekadar hiasan semata. Lukisan tersebut, nyatanya banyak mengandung makna dan mencerminkan pandangan hidup dan merupakan roh atau spirit bagi tukang becak untuk menarik penumpangnya."

“Gambar macan untuk menunjukkan bahwa si tukang becak itu trengginas, cekatan, dan gesit dalam mencari uang untuk menghidupi keluarga. Kalau gambar gunung dan sawah atau pemandangan, biasanya biar (agar-red) si tukang becak selalu ingat kampung halaman dan keluarga,” tutur Tjipto Setiono (73).
Tentu saja, pendapat Mbah Tjipto ini bukan asal “njeplak”. Namun kesimpulan itu didapat setelah 50 tahun menggeluti dunia lukis slebor becak—alat transportasi yang bebas polusi namun menguras tenaga bagi pengemudinya ini. “Saya menggeluti pekerjaan melukis slebor becak ini sejak masih perjaka, sekarang anak saya tujuh dan sudah mentas (mandiri) semua. Saya punya 16 cucu dan dua cicit. Saya sudah menjadi buyut,” ungkapnya sembari tertawa kecil.
Dalam pengakuannya, ia mulai terjun ke profesi ini sejak lulus Sekolah Rakyat (kini disebut SD) pada tahun 1950. Kala itu setelah lulus SR, ia bekerja pada seorang juragan becak, A Djoen, di Gondomanan, Yogyakarta, dan hanya mendapat upah Rp 25 per bulan. Sudah ribuan slebor becak, tentunya, yang telah dilukis sepanjang hidupnya hingga kini. Karyanya pun tak hanya dipesan tukang becak di Yogya, tapi juga tukang becak di kota-kota lain, seperti Solo, Semarang, Purwokerto, bahkan Jakarta.
“Tapi sekarang sudah sangat jarang juragan dan tukang becak yang memesan lukisan pada saya,” katanya. Dia menuturkan, sekarang ini dalam seminggu maksimal hanya tiga orang yang pesan. Dulu, sehari bisa sampai sepuluh lebih. Padahal, harga yang dipasang untuk melukis slebor—sepasang slebor dikerjakan selama tiga jam—hanya Rp 80.000. Bahkan, dirinya telah mengakali dengan mempermudah pembayaran, yakni dengan cara mencicil selama beberapa bulan. “Tapi, tetap saja mereka tak mampu membayar,” ungkap Mbah Tjip.

Sepi Order
Tak hanya beralihnya orang memilih naik bus ataupun taksi yang membuat Mbah Tjip sepi order. Dari sisi tukang becak pun ada persoalan. Mereka (para tukang becak) banyak yang melepas slebor-nya, karena dirasa memberati ketika mengayuh becak. “Di samping itu biasanya slebor dijual untuk biaya makan,” tuturnya.
Pun, para tukang becak kini tak begitu memperhatikan keindahan. Ini ditunjukkan dengan hanya memberi warna merah atau putih. Bahkan, ada yang dikontrak oleh sebuah hotel dengan sekadar menuliskan nama hotel tersebut di slebor becak. “Ini jauh dari keindahan. Tapi bagaimana lagi, yang penting bagi para tukang becak kan dapat duit setiap hari untuk bisa dibawa pulang mencukupi kebutuhan rumah tangga,” ungkap Mbah Tjip.
Masa kejayaan becak boleh jadi sudah meredup. Maka tak salah, jika Mbah Tjip mulai mendiversifikasi usaha lain yang tetap berhubungan dengan dunia seni. Lelaki yang masih hidup di rumah kontrakan di kampung Patangpuluhan itu, kini mencoba membuka usaha sampingan yang mungkin justru pekerjaan utamanya saat ini, yakni membuat neon box atau usaha papan reklame.
Dalam mempromosikan usaha barunya ini, ia sedikit “liar” dan nekat. Ia membuat stiker ataupun papan nama yang sederhana yang lantas ditempelkan di beberapa tembok dan tiang listrik di seantero Kota Yogya.
“Ketika menempelkan, saya selalu membawa tangga. Ini agar papan nama saya tak gampang diambil orang atau petugas Tramtib,” kata Mbah Tjip sambil tertawa.
Ia mengaku pula, promosi yang dilakukan semacam itu berbiaya sangat murah dan efektif. “Lha, kalau
saya beriklan di koran, ya paling cuma untuk satu hari, kemudian koran itu jadi buntel (pembungkus). Lagi pula belum tentu dibaca kan?” kata Mbah Tjip menjelaskan. n

Melukis Nisan

SELAIN melukis slebor becak, Mbah Tjip juga sering mendapat order melukis nisan di makam Tionghoa. Untuk melukis nisan tersebut, ia akan mematok harga Rp 500.000 hingga Rp 2 juta, tergantung besar-kecilnya ukuran nisan.
“Biasanya saya kerjakan paling lama lima hari. Tapi kalau di luar kota, akan saya kebut dan hanya perlu satu hari saja,” katanya.
Meski dikerjakan dalam waktu singkat, Mbah Tjip menjamin lukisannya bisa bertahan hingga lima tahun. “Tapi kalau orang China yang sangat menghormati leluhurnya, biasanya setiap tahun memperbarui makam. Tentu ini merupakan berkah saya,” ungkapnya lagi.
Panen order memperbarui lukisan pada nisan makam warga Tionghoa ini, biasanya terjadi ketika cembengan (ritual warga Tionghoa menghormati leluhur) sekitar bulan Maret hingga April. “Kemarin saya dapat order lima tempat dengan ukuran kecil-kecil. Lumayan dapat Rp 2,5 juta,” katanya.
Hidup Mbah Tjip memang penuh warna. Di usianya yang sudah sangat senja itu ia tetap bersemangat
mempertahankan profesinya sebagai tukang lukis slebor becak. Slebor becak merupakan awal kehidupannya. Maka, ia tetap ingin mempertahankannya. (yuk)

Oleh:Yuyuk Sugarman
Suara Karya
Tag : Ragam
Back To Top