Semanis Gula, Segurih Kelapa

loading...

Penderitaan Tiada akhir

17:16


“Dan apabila kami menghendaki untuk membinasakan suatu negeri, maka kami angkat orang–orang yang berlaku boros menjadi penguasa, lalu mereka berbuat durhaka kepada rakyatnya, karena itu mereka berhak mendapat adzab, lalu kami binasakan mereka hingga musnah. “ ( Qs. Al Isra’ 17 : 16)
          Rakyat Indonesia sepertinya tak pernah lepas dari "Penderitaan", khususnya kalangan menengah ke bawah.

Dari penderitaan petani di berbagai daerah pedesaan yang gagal panen karena hama dan iklim yang tak bisa lagi menjadi patokan, para nelayan yang juga mulai resah dengan turunnya hasil tangkapan dikarenakan perubahan iklim dan maraknya pencurian ikan oleh kapal nelayan asing sampai dengan naiknya harga berbagai kebutuhan pokok yang melambung naik disebabkan laju inflasi yang tak terkendali.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi atau meningkatnya harga bahan-bahan pokok secara umum pada bulan Juni 2010 adalah 0,97% atau yang tertinggi selama tahun 2010. Tentu ini sebuah lonjakan yang sangat besar karena inflasi Mei 2010 cuma 0,29%, bahkan pada Maret 2010 terjadi deflasi karena inflasi minus 0,14%. Jika kita jabarkan lagi, lonjakan yang paling besar terjadi pada bahan makanan. Pada Mei 2010, inflasi 0,49% sedangkan Juni 2010 melonjak hingga 3,20%.

Berkaca pada kondisi ini, banyak alasan yang dikemukakan para pakar dan pejabat mengenai penyebab tingginya inflasi pada pertengahan tahun 2010 (Juni-Juli), di antaranya pasokan yang terganggu akibat perubahan iklim serta efek psikologis dari kenaikan tarif dasar listrik (TDL) untuk segmen tertentu (dan industri) mulai 1 Juli 2010. Bagi rakyat kecil, alasan-alasan tersebut tentu saja tidak akan mampu mengurangi beban hidup mereka. Artinya, pengeluaran semakin besar sementara pemasukan belum tentu naik.

Belum tuntas mengenai persoalan harga bahan pokok yang terus meningkat, rakyat kecil juga harus dihadapkan kepada beban yang lain. Sebagai sebuah siklus rutin, pertengahan tahun adalah awal tahun ajaran baru. Anak-anak mulai masuk ke sekolah yang baru. Ini tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Walaupun, biaya penerimaan siswa baru (PSB) di sekolah yang menerima dana BOS gratis, namun orang tua masih harus membiayai pakaian dan perlengkapan sekolah lainnya.

Makin Berat Dengan Beban Psikologis
Selain beban ekonomi dan sosial yang dirasakan, rakyat juga dihadapkan pada beban psikologis ketika melihat kelakuan aparat pemerintah dan pejabat negara. Penyalahgunaan wewenang pajak yang dilakukan sebagian oknumnya dengan memperkaya diri sendiri hingga miliaran rupiah, tentu dirasa sangat memilukan. Belum lagi jika melihat studi banding dan kunjungan ke luar negeri para pejabat yang menghabiskan biaya APBN dengan hasil dan manfaat yang belum diungkap secara jelas. Korupsi pun masih merajalela dan bisa disaksikan dengan mudah. Pelayanan publik masih belum optimal, kecuali sebatas slogan dan jargon-jargon saja. 

Beban psikologis rakyat pun semakin berat akibat dari semakin sering terjadinya ledakan gas elpiji. Gencarnya pemberitaan tentang ledakan gas elpiji di berbagai media massa, membuat rakyat semakin was-was dan panik. Sampai Juli 2010 saja, setidaknya ada 42 ledakan di wilayah Jabodetabek, belum ditambah dari ledakan di berbagai daerah di Indonesia sejak digulirkannya program konversi gas elpiji yang dimulai pada 2007. 

Para pemegang kebijakan saling lempar tanggung jawab. Pemerintah, Pertamina dan berbagai instasi terkait program konversi gas elpiji sepertinya tak mau disalahkan. Rakyat pun semakin panik. Mereka memang tak paham, tak mengerti, dan bisa saja lalai. Namun apakah selama program konversi minyak tanah ke elpiji Pemerintah selalu menyosialisasikan, memberi arahan, dan mengajari para pengguna gas yang awam dan "bodoh" itu? Padahal Pemerintah sebagai pencetus program konversi, seharusnya menyosialisasikan, mengajari masyarakat, dan terus mengontrol kegiatan ini.

 Akhirnya, rakyat sampai hari ini hanya mampu berharap agar "Penderitaan" ini cepat berlalu. Mereka tak paham akan hitungan angka-angka tentang kebijakan fiskal, ekonomi makro, neoliberal, kapitalisme, yang mereka tahu hanyalah bagaimana bertahan hidup dan berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Back To Top