Semanis Gula, Segurih Kelapa

loading...

Berawal dari Sepak Bola

Garuda di dadaku...
Garuda Kebanggaanku...
Ku Yakin Hari Ini Pasti Menang...

Jingle lagu Suporter Merah-Putih, belakangan ini acap kali terdengar dari mulut anak-anak kecil sambil berlarian menggiring bola. Stasiun televisi berlomba-lomba menyiarkan keberhasilan timnas Indonesia melenggang ke final Piala AFF Suzuki Cup 2010. 


Dari pejabat sampai pengamen ramai membicarakannya. Atmosfir Indonesia seakan-akan diselimuti awan kebahagian. Dari ujung timur Indonesia sampai ke Pantai Barat Sumatera semua serasa bergumuruh saat pasukan Garuda menghempaskan lawan-lawannya.

Kemenangan demi kemenangan diraih timnas Merah Putih di Piala AFF 2010 ini. Mereka telah berhasil mengganyang Malaysia 5-1, melucuti Laos 6-0, mengempaskan Thailand 2-1, dan tak kalah pentingnya memenangi laga melawan Filipina. Publik sepak bola Indonesia tengah mengalami kegilaan dengan hasil kemenangan itu. Sejenak, publik mengabaikan persoalan-persoalan sosial, politik, dan ekonomi yang masih belum stabil, jika tak mau dikatakan agak overdosis melihat persoalan negara-bangsa yang tak pernah kunjung menemui kabar kegembiraan.

Banyak persoalan masih membelit negeri ini dan perlu penangananan yang cepat dan tepat. Jangan sampai semua problem bangsa kita sorot tanpa ada solusinya . Namun, tentunya, semangat keindonesiaan yang membara jangan lantas menjadi padam, patah semangat, dan putus asa.

Mungkin bermula dari sepak bola! Jika mau berkaca, ketika dunia diguncang oleh tragedi perang dunia ke-II, konflik ideologis antara sosialisme vis-a-vis liberalisme, huru hara kemanusiaan yang terjadi pada dekade ‘40-an, Erich Fromm seorang filsuf dan psikolog itu menulis sebuah karya Revolution of Hope (1990) sebagai jawaban atas kepedihan dan krisis yang tengah menyelimuti umat manusia zaman itu.

Menurut Fromm, di tengah-tengah kita sekarang ada hantu, bukan hantu kuno seperti komunisme atau fasisme, melainkan hantu baru. Fromm mengingatkan bahwa kita sedang berada di persimpangan jalan sebagai konsekuensi penemuan teknologi mutakhir; akibatnya di satu sisi jalan menuju masyarakat yang “dimesinkan” secara total, akibat senjata nuklir yang “bertugas” untuk melumatkan manusia, sementara di sisi lain jalan menuju pada pencerahan humanisme dan harapan, masyarakat yang menempatkan teknologi untuk melayani kesejahteraan manusia.

Dari narasi itu ada satu hal penting yang harus digarisbawahi, bahwa seberat apa pun ujian yang tengah menimpa, harapan itu harus tetap ada. Harapan itu merupakan kekuatan moral dan merupakan semangat yang mesti diejawantah dalam realitas hidup. Jika harapanharapan itu disinergiskan, maka kekuatan dan semangat yang dahsyat akan dapat menjungkirbalikan rasa putus asa dan patah harapan.

Dari sisi itu, tampaknya Indonesia sebagai negara- bangsa mesti belajar dari sejarah bangsa-bangsa dunia yang maju, namun sebelumnya lama terpuruk. Hal senada pernah diutarakan oleh Prof Nurcholish Madjid (alm) bahwa ketika bangsa ini ditimpa oleh pelbagai bencana, krisis yang berkepanjangan, maka jalan satu-satunya adalah harus melakukan arus-balik sejarah.

Indonesia harus belajar dari bangsa Jepang, misalnya, yang meskipun pada perang dunia ke-II diluluhlantakkan oleh nuklir, namun tidak menjadi pesimistis. Akan tetapi menjadi arus balik dan justru semakin memiliki ambisi untuk menggali pengetahuan dan teknologi. Pada dasawarsa ‘90-an, harapan itu sudah teraktualisasi secara telanjang dan menyeluruh.

Jepang menjadi “macan” Asia yang disegani. Pertumbuhan ekonomi dan sosial terus melaju, kompetisi teknologi bersama negara-negara maju semakin mendapatkan bargainnya, Jepang menjadi salah satu negara berperadaban dan berkebudayaan tinggi (high culture).

Songsong Harapan

Paling tidak ada tiga modal dasar untuk menyongsong harapan dari keterpurukan dan kepedihan itu. Pertama, mesti memiliki mental dan moral yang baja dan luhur, sebab tak akan mungkin suatu bangsa dapat membalikkan arus balik sejarah itu tanpa ada memiliki mental yang baja dan moral yang luhur. Moral yang luhur, misalnya, diejawantahkan dengan kedisiplinan, pengabdian, dan pengorbanan untuk mendahulukan kepentingan bersama, tidak korup, dan sebagainya.

Kedua, harus banyak belajar dari pengalaman sejarah dan belajar pada bangsa-bangsa lain yang maju untuk mengejar ketertinggalan itu. Belajar dari sejarah kemudian menjadi otokritik, sementara belajar dari bangsa maju menjadi instrumen ekstrospeksi (instrospeksi ke depan), untuk menatap masa depan mesti dikemanakan kemudi bangsa ini hendak diarahkan.

Ketiga, harus ada willing atau kemauan kuat yang tidak komunal, melainkan sinergis, merupakan keinginan, kemauan, dan tekad bersama. Dari sisi itu, uniformitas, sektarianisme, dan perbedaan-perbedaan lainnya harus dilepaskan dan menuju pada kesatuan visi dan misi bersama. Dalam ranah sosiologis, ketika modal dasar bagi perwujudan harapan itu sudah dimiliki, maka tugas selanjutnya adalah bagaimana strategi untuk menghadapi tantangan-tantangannya.

Sebab sebagaimana dalam pengalaman sosiologis, tantangan itu mesti selalu merintang. Sebagai contoh, dalam masyarakat modern, tantangan utamanya adalah menghadapi kemelut moral dan etika. Emile Durkheim, sebagai seorang sosiolog besar, pernah menulis karya hasil penelitian sosiologisnya berjudul Le suicide: etude de sociologie (1960), yang menyatakan bahwa sebagai konsekuensi logis dari modernitas di Eropa, ketika nilai-nilai moral dan etika menjadi kering-kerontang, maka dalam masyarakat Eropa banyak terjadi kasus bunuh diri.

Bunuh diri (suicide) adalah salah satu bentuk “eskapisme abadi” manusia ketika sudah tidak lagi dapat menahan laju modernitas yang kelewat kompetitif dan menyedot nilai-nilai moral-etik dalam masyarakat Eropa. Maka, tantangan bagi bangsa Indonesia yang paling utama adalah bagaimana menyingkirkan sifat keserakahan, korup, rakus, menang sendiri, mementingkan diri, egois, serta takabur itu.

Sifat-sifat itu merupakan penyakit kronis yang akut yang dimiliki bangsa ini. Sebab tak akan mungkin bangsa ini menjadi bangkit jika sifat-sifat itu masih terus menggelayuti. Bangsa ini akan terus menjadi “bangsa pengemis” jika semua sifat itu belum dihilangkan. Bangsa ini harus kembali pada falsafah-falsafah bangsa yang mulia itu, sebab dalam falsafah itu terdapat harapan yang mungkin belum terimplementasikan.

Maka, tugas kita sebagai generasi penerus adalah melanjutkan perjuangan untuk mewujudkan falsafah yang belum terimplementasi itu. Selama ini, Indonesia sudah lelah dengan segudang persoalan. Kita menginginkan sesuatu yang komprehensif dan konkret dalam penyelesaian seluruh krisis bangsa yang belum kunjung selesai ini. Bencana alam yang sering menimpa boleh jadi merupakan “azab Tuhan” karena penghuninya selalu berbuat maksiat, korupsi, dan sebagainya.

Kita semua harus menghentikan skenario-skenario jahat yang akan diperbuat itu. Maju-tidaknya bangsa ini bergantung willing kita sebagai penghuninya, apakah akan terus membuat negeri ini berduka ataukah sebaliknya memberi rasa kegembiraan seperti publik sepak bola yang kini tengah bereuforia di piala AFF? Semoga lambang Garuda bukan hanya slogan dan simbol yang dipakai timnas, melainkan harus menjadi spirit bagi para elite untuk mengangkat bangsa ini dari keterpurukan.




source: Koran Jakarta

Tag : Inspirasi
Back To Top