Semanis Gula, Segurih Kelapa

loading...

Cikeusik yang Mengusik

Aksi kekerasan berbau SARA kembali terjadi. Ketidak mampuan intelijen mengantisipasi. Pertandanya jelas terbaca.

Minggu, 06 Februari 2011, Matahari baru menyingsing di atas Desa Umbulan yang merupakan salah satu desa di Kecamatan Cikeusik, Pandeglang, Banten. Sebagian warganya yang berprofesi sebagai petani, mulai beraktivitas seperti biasa. Tak ada yang berbeda sampai pukul 11.00 WIB, tak kurang dari 1.000 orang mendatangi sebuah rumah milik Suparman, seorang warga penganut ajaran Ahmadiyah dengan mengendarai mobil, bus, truk, dan sepeda motor. Di antara mereka, ada sejumlah massa yang mengenakan jubah, sebagian lainnya ada yang menenteng senjata tajam.

Sebelum terjadi bentrok, sempat terjadi adu mulut dengan penghuni rumah. Namun debat ini hanya berlangsung singkat, kisah selanjutnya adalah anarkisme dan aksi barbarian yang keji. Padahal, disaat bersamaan ada 100 personel polisi yang berjaga-jaga di dekat kediaman Suparman. Akan tetapi, ketika aksi massa semakin brutal mereka tak bisa berbuat apa-apa.

Beberapa rekaman video yang beredar di internet menunjuukkan bagaimana massa secara membabi buta menghancurkan harta benda milik Ahmadiyah dan  dengan sadis membantai tiga orang pengikut aliran ini.

Selang dua hari setelah tragedi di Cikeusik, bentrok massa kembali terjadi. Kini giliran Temanggung, kota kecil penghasil tembakau di Jawa Tengah. Bentrok berawal dari ketidakpuasan massa atas vonis  perkara penodaan agama di Pengadilan Negeri Temanggung. Tiga buah gereja dirusak massa. Salah satu sosok sentral pemicu kerusuhan Temanggung adalah Antonius Richmond Bawengan.

Antonius terdakwa kasus penistaan agama Islam. Ia menyebarkan buku-buku yang meresahkan masyarakat. Buku berjudul Ya Tuhanku Tertipu Aku dan selebaran berjudul "Selamatkan Diri dari Dajjal dan Kiamat" itu disebarkan ke sejumlah warga. Kasus Ini terjadi pada 23 Oktober 2010.

Ketika Pengusutan kasus kerusuhan Cikeusik dan Temanggung masih berlangsung, kekerasan  berlatar belakang konflik keagamaan pecah lagi di Pasuruan, Jawa Timur. Sepekan setelah kejadian di Temanggung, ratusan orang tak dikenal menyerbu Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Ma'hadul Islam, Yayasan pesantren Islam, di desa Kenep, Kecamatan Beji, Pasuruan yang dikenal sebagai penganut aliran Syiah.

Tiga kejadian yang hampir berbarengan itu seperti menampar muka kerukunan beragama di negeri ini, bukan apa-apa, substansi persoalan terjadi peristiwa tersebut bukanlah hal baru, melainkan ulangan dari kejadian-kejadian serupa.

Kekerasan terhadap penganut Ahmadiyah kerap terjadi, modusnya bermacam-macam, mulai dari penyerangan dan penyegelan masjid di Desa Manis Lor, Kuningan, Jawa Barat pada Agustus 2010, sampai pembakaran masjid di Ciampea, Bogor, Oktober 2010, hingga pembunuhan sadis yang terjadi di Cikeusik, awal Februari lalu.

Kasus Temanggung juga bukan yang pertama kali, Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya UGM mencatat setidaknya ada 20 kasus penodaan agama, bukan hanya terhadap agama Islam, sepanjang 2010.

Kekerasan yang terus berulang ini seakan cerminan ketidakmampuan pemerintah melindungi dan mengayomi warga negaranya di negeri ini. Sampai kapan aksi kekerasan seperti ini terus menghantui?
Tag : Berita
Back To Top