Semanis Gula, Segurih Kelapa

loading...

Jatuh-Bangun Sebelum Melesat Menjadi Pengusaha Sukses

BUAH KERJA KERAS: Agus Supriyadi, sukses berbisnis digital printing setelah sempat jatuh bangun mengembangkan usaha.
Agus Supriyadi,pemilik usaha F-1 Printing Station,sempat jatuhbangun membangun usahanya.Semua itu menjadi bagian tak terpisahkan dalam cerita kehidupan Agus sebelum menjadi pengusaha sukses seperti sekarang.

BAGI kalangan bisnis periklanan di wilayah Jawa Timur,F1 Printing Station bukanlah nama asing. Di kantornya yang terletak di Jalan Gajah Mada, Jember, jaringan F1 terus menggurita ke berbagai kota di sekitarnya. Di lima kota saja (Jember, Banyuwangi, Bondowoso, Situbondo, dan Lumajang) telah memiliki 50 agen.


Jumlah agen ini, menurut Agus, akan terus bertambah seiring perkembangan bisnis yang dia tangani.“Saya yakin bisnis promosi akan terus berkembang,”katanya optimistis. Karena itu, di samping memperluas jaringan, pria kelahiran 1981 ini tak bosan melengkapi sarana bisnisnya. Lihat saja, F1 kini telah mengoperasikan enam mesin printing. Agus juga sudah menginvestasikan sebagian dana miliknya demi membuka bengkel las untuk mendukung pembuatan konstruksi billboard. Dengan demikian, setiap order yang masuk bisa langsung digarap di satu tempat. Pertumbuhan usahanya berbanding lurus dengan omzet dan keuntungan yang berhasil diraup.

Meski tidak mau membeberkan secara terbuka, total aset setidaknya sudah menggambarkan betapa besar penghasilan yang didapat. Agus mengaku memiliki total aset senilai Rp5 miliar. Total aset tersebut merupakan hasil usaha yang sudah dijalankan selama empat tahun.Dengan ketekunan dan besarnya aset usaha, Bank Negara Indonesia (BNI) memberikan kepercayaan dalam bentuk fasilitas kredit sebesar Rp1 miliar sebagai tambahan modal mengembangkan usaha. Peran BNI diakui Agus cukup besar.Agus pun berupaya melunasi pinjaman sebaik mungkin.Tak heran pada akhir 2009, kewajiban Agus kepada BNI telah menyusut hingga Rp700-an juta. Pada 2010 ini,menurut Agus,pinjamannya ke BNI sudah jauh berkurang.

Rasanya tak adil kalau hanya menceritakan sukses yang diraih Agustanpatahulatarbelakangserta perjuangannya membangun usaha. Kisah Agus membangun usahanya bisa jadi lebih menarik lantaran dia mengawali usahanya dengan penuh perjuangan. Siapa sebenarnya sosok satu ini sehingga sedemikian lihai mengembangkan usahanya? Agus awalnya bukan siapa-siapa. Dia bukan dari golongan berada dan bahkan tidak mengenyam pendidikan tinggi.Agus juga telah menjadi yatim sejak kecil.

Setelah lulus dari sekolah dasar, Agus kecil melanjutkan ke sekolah menengah pertama (SMP) atas sokongan biaya dari seorang kakaknya yang berdagang di Jakarta. Selepas SMP, Agus lantas meneruskan pendidikan ke bangku sekolah menengah umum (SMU). Seperti sewaktu menempuh pendidikan SMP,ketika menimba ilmu di SMU, dia juga mendapat bantuan biaya dari kakaknya yang menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI). Serbakekurangan justru menjadi motivasi Agus dalam menuntut ilmu.Tak ingin mengecewakan kakak-kakaknya yang telah membiayai pendidikan, Agus pun berusaha keras.Dalam benaknya kala itu, dengan meraih ijazah SMU, dia setidaknya akan mudah untuk mendapatkan pekerjaan.

Setelah mengantongi ijazah SMU, Agus mencoba keberuntungannya dengan mengikuti tes untuk menjadi polisi, tapi gagal. Gagal menjadi polisi, kehidupan Agus tak malah bertambah baik. Dia pun sempat menjadi kernet hingga kuli bangunan demi sekadar menyambung hidup. Pekerjaan menjadi kernet dan kuli bangunan dijalani Agus sekian lama sebelum akhirnya dia ditawari seorang teman untuk membantu menjajakan topi. Hasilnya ternyata menggembirakan. Agus bahkan sanggup meningkatkan penjualan dari yang awalnya hanya lima buah menjadi sekarung topi. Keberhasilan ini mendorongnya untuk berdiri sendiri. Dengan modal nekat karena waktu itu tanpa modal sedikit pun di tangan,dia berangkat ke Bandung.Niatnya ke Bandung adalah untuk mempelajari seluk beluk bisnis topi.

Meski tanpa modal,dewi keberuntungan sepertinya tengah menaungi.Setelah menjual tenaga selama beberapa pekan di sebuah pabrik garmen, Agus berhasil memperoleh sejumlah uang untuk membeli topi yang dijadikan sebagai barang dagangan di Jember. Usahanya menggeluti bisnis topi ternyata berjalan mulus. Dia pun dikenal sebagai salah satu pemain dalam bidang usaha topi paling laris di wilayah Jawa Timur.Dengan mendompleng nama beken (F1 dan Billabong) pada 2002,Agus sudah mampu menyewa counter kecil di beberapa mal di Surabaya. Sayang, kejayaannya tak berlangsung lama. Ketika ikut berpameran di Bali pada 2003, dia terpaksa berurusan dengan penegak hukum. Agus dituduh telah melakukan pemalsuan merek.

Dua merek dagang internasional yang turut melambungkan usahanya merasa dirugikan.Agus mesti membayar ganti rugi atas ketidaktahuannya terhadap kode etik bisnis. Kasus inilah yang membuatnya habis-habisan. Guna memenuhi tuntutan pemegang merek tersebut, Agus mesti mengeluarkan banyak biaya sehingga yang tersisa hanya sebuah sepeda motor dan uang Rp10 juta. Kegagalan yang dialami sempat membuatnya nyaris frustrasi. Tapi, Agus tak larut dalam kekecewaan. Dengan modal yang ada, dia pun berusaha bangkit menekuni usaha yang bergerak di media periklanan.“Saya menggunakan uang sisa dari kasus yang saya hadapi untuk membeli mesin jahit dan obras,”kenangnya.

Dengan mesin jahit dan obras seadanya,dia mulai merangkak dengan mengerjakan bordiran. Usaha ini tak dinyana menjadi cikal bakal berdirinya F1 Printing. Dari usaha bordir tersebut,Agus kemudian mendapat banyak pesanan untuk pembuatan produk-produk perusahaan atau event tertentu. Usaha bordir Agus semakin berkembang tatkala dia mendapat pinjaman modal dari BNI. Hasilnya seperti yang dapat terlihat saat ini.

F1 Printing bisa melesat melebihi dari apa yang dikerjakan Agus sebelumnya.“Dua tahun lalu saya masih pakai sepeda motor bebek, sekarang punya tiga mobil,” katanya. (sugeng wahyudi)
Tag : Inspirasi
Back To Top