“Buah apa saja kalau matangnya dari atas, bila dibuka, bijinya cuma satu, itu pun kalau ada bijinya. Tetapi buah apa saja kalau matangnya dari bawah, bijinya pasti banyak....”
Kiai Isa adalah putra sulung pasangan K.H. Hasan Kafrawi, tokoh ulama besar di Desa Mandiraja, Kecamatan Moga yang dikenal luas di wilayah Pemalang dan sekitarnya, dan Nyai Siti Maryam. Ia lahir pada tanggal 3 Maret 1962 di Mandiraja.
Sebagai putra seorang tokoh ulama terkemuka, sejak kecil ia sudah bergelut dengan ilmu-ilmu syari’at, yang terutama diajarkan oleh ayahnya dan juga pamandanya, yang juga tokoh ulama terkemuka setempat, K.H. Muhsinin Anis.
Untuk pendidikan formal, ia menyelesaikan pendidikan dasarnya di SDN Mandiraja 2. Selanjutnya ia melanjutkan pendidikannya ke SMP Pemda Moga hingga tamat pada tahun 1978. Di pagi hari ia belajar formal di sekolah dan sore serta malam harinya ia menimba ilmu-ilmu syari’at di madrasah Mandiraja yang diasuh oleh ayah dan pamannya.
Tamat dari SMP, dengan bekal ilmu-ilmu syari’at yang sudah didapatkan, ia melanjutkan pengembaraan keilmuannya ke Pondok Pesantren Nadwatul Ummah, Buntet, asuhan Prof. Dr. K.H. Fuad Hasyim, yang juga kawan karib sang ayah. Sedang untuk pendidikan formalnya, ia melanjutkan pendidikannya ke MAN Buntet Pesantren, Cirebon.
Selama di Buntet, ia menimba berbagai ilmu syari’at kepada sesepuh-sesepuh Buntet, terutama kepada K.H. Fuad Hasyim. Ulama-ulama terkemuka Buntet lainnya yang dijadikan tumpuan untuk memenuhi dahaga keilmuannya antara lain K.H. Abdullah Abbas, K.H. Hasan Munawir, K.H. Izuddin Azza.
Setamat dari MAN Buntet Pesantren pada tahun 1982, ia menuju Pondok Pesantren Lasem, Rembang, melanjutkan dan meniru jejak sang ayah, yang juga nyantri di Lasem.
Baru satu tahun ia di Lasem, pada tahun 1983, sang ayah memanggilnya untuk pulang ke Mandiraja.
Tidak disangka, pada kepulangannya kali itu rupanya sang ayah sudah mempersiapkan calon pendamping baginya, salah satu putri tokoh pendukung dakwah sang ayah, Hj. Nura‘ini. Maka ia pun menikah.
“Tapi setelah nikah, saya langsung kembali ke pesantren lagi,” kenang Kiai Isa.
Alasan mengapa sejauh itu sudah dipersiapakan calon pendamping di Mandiraja, menurut Kiai Isa, terutama agar ia kembali ke Mandiraja untuk melanjutkan perjuangan sang ayah dan pamannya selama itu. “Dan yang kedua, di luar itu dan di luar rasio, Allah memang menghendaki Ayahanda berusia tidak panjang. Beliau wafat pada tahun 1992 dalam usia 57 tahun,” kata Kiai Isa. “Bahkan, sang paman pun wafat tidak lama setelah Ayahanda wafat dan pada tahun yang sama.”
Dari hasil pernikahannya itu, Kiai Isa dikaruniai satu orang putra, Muhammad Fadlil Maulida.
Selama berada di Pesantren Lasem, ia juga menggunakan kesempatan untuk memperdalam ilmu-ilmu syari’at dengan aktif menghadiri pesantren pasaran Ramadhan di Pesantren Kaliwungu, asuhan K.H. Dimyathi Ro‘is, yang menjadi salah satu pesantren rujukan utama ilmu-ilmu syari’at di Jawa hingga saat ini.
Di Lasem, ia belajar dan menerima berbagai ijazah ilmu antara lain dari K.H. Achmad Sakir Ma‘sum, K.H. Ali Nu‘man, K.H. Munir, Nyai Hj. Nuriyah Ma‘sum, Nyai Hj. Azizah Ma‘shum. Adapun di Kaliwungu, ia menimba ilmu secara langsung dari K.H. Dimyathi Ro‘is.
Melaksanakan Pesan Sang Ayah
Setelah kurang lebih enam tahun menimba ilmu di Pesantren Lasem, pada tahun 1999 ia kembali ke Mandiraja dan mulai mengajar di madrasah yang dirintis oleh sang ayah, paman, dan mertuanya.
Dua tahun menjelang wafat, setelah mendirikan sekolah formal, baik agama maupun umum, TK Wahid Hasyim, SMP Islam Wahid Hasyim, Madrasah Awaliyah, dan Wustho, sang ayah, K.H. Hasan Kafrawi, dibantu K.H. Muhsinin Anis, K.H. Abdul Ghafur, dan Hj. Solehah (mertua), merancang untuk mendirikan pondok pesantren, karena dinilai sudah memiliki masyarakat yang siap mendukung segala sesuatunya.
Kala itu, di tengah masyarakat, sebagai ajang silaturahim dan pembinaan masyarakat, diadakan pengajian, yang diselenggarakan di Masjid Jami‘ Annur. Pengajian diadakan setiap pagi dan diasuh oleh K.H. Hasan Kafrawi, sang ayah, dan K.H. Muhsinin Anis, paman.
Setelah semua prasarana disiapkan, Allah menghendaki lain, kedua tokoh utama tersebut dipanggil oleh Allah SWT pada tahun yang sama. “Dari sana, saya diharapkan untuk meneruskan perjuangan dan cita-cita mereka berdua.”
Sepulangnya dari pesantren, Kiai Isa pun diminta untuk duduk di masjid, meneruskan majelis rutin subuhan, kuliah subuh. Dalam majelis itu diajarkan kitab tafsir Jalalain sebagai wiridan sepanjang tahun. “Bila khatam, diulang lagi dari awal, dan begitu seterusnya.”
Sejak menangani majelis itu, Kiai Isa menambahkan kitab Muhadzdzab sebagai kajian rutin, di samping kitab tafsir Jalalain.
Untuk kitab tafsir Jalalain, ia mendapatkan ijazah secara khusus dari K.H. Fuad Hasyim Buntet. Sedangkan Muhadzdzab, ia memperoleh dari K.H. Dimyathi Ro‘is Kaliwungu, juga kiai-kiai lainnya. “Alhamdulillah, ketika Ayahanda wafat dulu, jama’ahnya 40 orang, tapi sekarang sudah lebih dari 400 orang.”
Selain majelis kuliah subuh rutin, setiap Ahad Manis juga diadakan mujahadah bersama. “Di samping itu diadakan pula manaqiban dan Nariyahan, agar semakin menyatukan masyarakat dengan pondok pesantren.”
Tahun 2004, setelah menerima salah seorang muridnya, Untung, sebagai santri mukim pertama, Kiai Isa merasa, itu merupakan isyarat dari Allah bahwa sudah tiba saatnya melaksanakan pesan dan cita-cita sang ayah untuk medirikan pesantren. Maka pada tahun 2005, bersamaan dengan haul yang ke-15 sang ayah, setelah proses istikharah dan memohon restu dari para guru, dilakukanlah peletakan batu pertama pendirian Pondok Pesantren Nurul Jinan.
Wakil tokoh agama yang diundang kala itu antara lain Habib Ali Al-Habsyi, Pemalang. Sedang wakil tokoh pemerintah adalah Bupati Pemalang, H. Mahrus, S.H. “Alhamdulillah, saat pengecoran, masyarakat berdatangan untuk membantu, sehingga dapat selesai hanya dalam waktu sehari-semalam.”
Setelah pesantren putra selesai dibangun dan sudah banyak santri yang berdatangan dari berbagai wilayah di sekitar Jawa Tengah, bahkan ada juga dari Kalimantan dan Palembang, pada tahun 2009 Kiai Isa pun membangun gedung untuk pesantren putri, karena banyaknya permintaan dari masyarakat.
Untuk program wajib pesantren sendiri, Kiai Isa menuturkan, para santri belajar dari ba’da zhuhur sampai ba’da isya setiap hari, terutama program sorogan, yaitu santri membawa kitab, lalu membaca di depan kiai. “Untuk sekolah umum formalnya sendiri, para santri diberi kebebasan untuk memilih. Boleh di yayasan, atau di sekolah-sekolah umum negeri sekitar.”
Selain itu, agar dapat menjawab tuntutan orangtua dan masyarakat, baik di bidang agama maupun umum, Kiai Isa membuat satu program wajib bagi para santri untuk menguasai bidang pertanian. Dan saat ini Pesantren Nurul Jinan menerima bantuan program pembinaan dari Dirjen Dinas Pertanian Pusat melalui program Lembaga Mandiri Mengakar di Masyarakat (LM3). Melalui program ini, para santri diajari bertani secara benar, agar mereka memiliki keahlian setelah nantinya keluar dari pesantren dan terjun di masyarakat. “Ada satu hektare lahan pertanian yang disiapkan untuk program ini di bawah bimbingan Dinas Pertanian Kabupaten.”
Peran dan kiprah Kiai Isa selama ini rupanya telah mendapatkan simpati dari para pengasuh pesantren dan kiai-kiai di Pemalang. Pada Ramadhan 2010 yang lalu, ulama-kiai pengasuh pondok pesantren se-Pemalang mengadakan pertemuan di PP Nurul Jinan. Agenda khusus dalam pertemuan itu adalah menanggapi dan menetralisir citra terorisme yang kala itu gencar diarahkan kepada dunia pesantren.
Pada pertemuan yang juga dihadiri tokoh-tokoh pemerintah dan cendekiawan itu akhirnya dibentuklah satu forum kerja sama ulama-kiai Pemalang, yang diberi nama “Forum Ulama Pemalang” (Formula), dan Kiai Isa pun didaulat untuk menjadi ketua umumnya. “Formula ini dibentuk dengan tujuan untuk menjadi mitra bagi ormas-ormas Islam dan organisasi keagamaan lainnya yang telah ada, sebagai mitra pemerintah, dan terutama sebagai penyambung lidah para ulama kepada masyarakat untuk mengenalkan dan menanamkan Islam yang indah, anti kekerasan, dan rahmatan lil ‘alamin.”
Melompatlah seperti Harimau
Dalam berdakwah, Kiai Isa, yang juga aktif di NU sebagai mustasyar, tak pernah melupakan pesan-pesan pendahulunya. Di antara pesan sang ayah yang selalu diingatnya, “Berjuang di mana pun harus ikhlas, karena apa pun yang dilakukan tanpa dasar ikhlas, sebesar apa pun itu, pasti akan hancur.”
Ketika di Buntet, K.H. Fuad Hasyim pernah berkata kepadanya, “Duduklah seperti kucing dan melompatlah seperti harimau. Dan jangan duduk seperti harimau, melompat seperti tikus.” Maksud “duduk seperti kucing” yakni diam, tawadhu, dan tidak menampakkan kesombongan. Tetapi begitu tampil, tampillah seperti harimau, memukau dan mengejutkan. Dan jangan duduk seperti harimau, menampakkan ilmunya, angkuh, dan seterusnya, tetapi ternyata melompat seperti tikus. Maksudnya, di saat tampil ternyata dangkal ilmunya dan terlihat kebodohannya.
K.H. Muhsinin Anis, sang paman, juga pernah berkata, “Buah apa saja kalau matangnya dari atas, bila dibuka bijinya cuma satu, itu pun kalau ada bijinya. Tetapi buah apa saja kalau matangnya dari bawah, bijinya pasti banyak. Seperti mangga itu, matangnya dari atas, maka bijinya cuma satu. Tetapi coba lihat pepaya, matangnya dari bawah, maka bijinya banyak.” Artinya, kalau seseorang itu “besar”-nya karena dari atas, misalnya karena ada faktor KKN, yang sebenarnya ia tidak besar, nantinya tidak akan meninggalkan generasi yang banyak. Tetapi bila besarnya dari bawah, dari masyarakat, nantinya ia akan meninggalkan banyak generasi. Ya, yang dibesarkan oleh masyarakat akan membesarkan masyarakat.
Jadi, bila seseorang ingin berjuang, hendaknya betul-betul berjuang demi membesarkan masyarakat, yang telah membesarkan dirinya. “Itulah di antara pesan guru-guru yang senantiasa saya ingat di mana pun dan kapan pun, meskipun saya belum bisa melaksanakannya sepenuhnya,” tutur Kiai Isa merendah, mengenang masa-masa terindah bersama guru-guru tercintanya.
Sumber: Majalah Alkisah
Tag :
Tokoh