Andaikan boleh memilih, tentunya mereka tak ingin terlahir menjadi warga
kelas tiga yang serba kekurangan dan terbelenggu rantai kemiskinan.
Kemiskinan telah membuat mereka menjadi miskin dalam segala hal,
terutama kemiskinan dalam memperoleh hak mereka untuk hidup layak.
Kemiskinan jua yang membuat mereka sulit mengakses yang menjadi hak
mereka sebagai warga negara.
Ya, hak mereka sebagai warga negara yang harus dipenuhi oleh pengayom
dalam hal ini negara, seperti yang tercantum pada UUD '45. Mereka berhak
atas pengidupan yang layak, pendidikan, kesehatan dan layanan publik
lainnya. Sepertinya soal hak warga negara merupakan tanggung jawab warga
negara itu sendiri.
Seakan-akan pemerintah tidak merasa perlu bertanggung jawab terlalu
besar terhadap kehidupan warga yang miskin, mereka hanya diposisikan
sekedar proyek yang enak diselewengkan dan dikorupsi sesuka hati. Lihat
saja begitu banyak warga miskin diberbagai daerah yang masih saja
kesulitan mengakses fasilitas pelayanan kesehatan yang merupakan hak
mereka sebagai warga negara.
Contoh kasus yang menimpa seorang warga bernama Tri War’umi,
warga Desa Kebondalem, Pemalang, yang meninggal pada saat akan
melahirkan anak pertamanya terlambat untuk ditangani hanya gara-gara
tidak memiliki kartu jamkesmas.
Setiap tahun pemerintah kabubaten (Pemkab) Pemalang mendapat alokasi
anggaran jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) dan jaminan persalinan
(Jampersal) dari APBN cukup besar. Tahun 2011 lalu saja Pemkab pemalang
mendapat kan anggaran untuk jamkesmas sebesar Rp 6.720.080.000, dan
untuk program jampersal disediakan anggaran sebesar Rp 4.700.449.000.
Sumber: www.dinkesjatengprov.go.id |
Bukti kurangnya sosialisasi dinas terkait akan pemanfaatan dana jaminan kesehatan terlihat dari hanya
terpakai sebesar Rp 1,3 miliar dan sisanya masih ada sebesar Rp 3,4
miliar. Sedangkan dana Jampersal sebesar Rp 3,29 miliar juga terpakai
hanya Rp 1,85 miliar. Sisa masih ada Rp 1,5 miliar. Juga termasuk dana
Jamkesda, seperti yang diutarakan Wakil Ketua DPRD Kabupaten Pemalang H Noor Rosyadi, seperti dilansir Radar Pemalang.
Niat baik dengan penyediaan anggaran yang begitu besar ternyata masih
sulit diakses oleh warga miskin. Kesulitan warga miskin untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik ternyata masih jauh dari
harapan dan pengakuan atas hak dasar sebagai warga negara.
Sebut saja pengalaman Kayat, seorang warga miskin yang tinggal di Desa
Sima, Kec. Moga, Pemalang. Beberapa waktu yang lalu Kayat harus masuk ke
berobat ke rumah sakit karena keluhan sakit ginjal dan komplikasi
berbagai penyakit lainnya, karena sakitnya sudah parah, ia dirujuk oleh
dokter untuk opname di Rumah Sakit Islam Moga. Tapi karena terbentur
biaya ia tak bisa langsung mendapat perawatan RSI Moga.
Kayat pun pulang dengan menahan rasa sakit yang tak terhingga. Setibanya
di rumah, keluarga langsung berupaya dengan berbagai cara agar bisa
segera dirawat di RS. Dengan bekal Jamkesda pinjaman tetangganya, Kayat
dan keluarganya kembali mendatangi RSI Moga, namun apa daya pihak rumah
sakit menolak dengan alasan tidak melayani Jamkesda dan hanya melayani
anggota Jamkesmas. Padahal berdasarkan MoU yang dilakukan oleh Dinas
Kesehatan Kab. Pemalang pada 2010 terdapat nama RSI Moga sebagai salah
penyelenggara layanan Jamkesda di pemalang.
Duh..., Kayat dan keluarganya langsung lemas, dalam benak mereka kemana
lagi harus meminta pertolongan agar bisa langsung mendapat pelayanan
medis mengingat kondisi kayat semakin parah. Akhirnya setitik harapan
mulai tersingkap, berdasarkan masukan dari beberapa tetangga tentang
informasi RS yang bisa melayani Jamkesda. Berangkatlah Kayat diantar
keluarga menuju RSU Margono di Purwokerto, Banyumas yang berjarak
kurang-lebih 3 jam menggunakan mobil sewaan.
Setelah di RSU Margono selama beberapa hari tidak dilakukan penanganan
yang pasti, sampai pada hari ke-4 pihak keluarga mendapat kabar dari
dokter bahwa sang pasien harus berpuasa karena harus dilakukan operasi
pada penyakitnya.
Tunggu punya tunggu sampai hari ke-10, operasi yang dijanjikan pihak
rumah sakit tak kunjung dilaksanakan, ini semakin membuat bingung Kayat
dan pihak keluarganya.Mereka berpikir harus menunggu berapa lama lagi,
karena persediaan biaya yang tak seberapa dan bahkan nyaris tiada.
Walaupun biaya perawatan ditanggung pemerintah, tapi untuk ongkos
pulang-pergi rumah sakit ke rumah dan biaya hidup menemani di RS kan
tidak sedikit. Jangankan buat ini itu untuk makan sehari-hari saja Kayat
dan keluarganya harus banting tulang sedemikian rupa. Perlu diketahui,
Kayat hanyalah petani miskin yang hanya mengandalkan penghasilan
beberapa petak sawah dan pembagian keuntungan dari memelihara kambing
milik tetangganya.
Dengan perasaan panik tak karuan dan dengan sangat terpaksa Kayat yang
terbaring lemah dibawa pulang ke rumahnya karena setelah sekian lama di
RS tidak ada kepastian penanganannya. Suasana gundah, sesak, campur-aduk
di dalam dada istri dan keluarga Kayat, dalam perjalanannya pulang
menuju rumah di Desa Sima, salah satu anggota keluarga berucap "Bener
Pancen Ya, Wong Mlarat Ora Olih Lara" (Memang Bener ya, Orang Miskin Gak
Boleh Sakit).
Beberapa hari setibanya di rumah, keluarga pun berembug dan berinisiatif
membawa Kayat berobat ke pengobatan alternatif. Setelah dua minggu
menjalani pengobatan, Kayat sudah mulai bisa beraktifitas ringan dan
bisa kembali ke sawah dan mengurus ternak-ternaknya.
Pengalaman buruk
Kayat tadi setidaknya masih menyisakan pertanyaan dibenak kita, kepada
siapa kami mengadu dan menuntut hak kami sebagai warga negara yang
katanya hak-hak kami dijamin oleh negara.
Lantas dimana keadilan dan kesejahteraan yang sering didengung-dengungkan para pemimpin kita. Wallahu a'lam bishawab. (Elf)