Semanis Gula, Segurih Kelapa

loading...

Politik Uang

Laka Amplope Ya Inyong Ora Milih...

Politik uang dalam Pemilihan Umum Bupati Purbalingga 2010 seakan sudah menjadi rahasia umum. Di gardu desa, pasar, obrolan tukang becak, hingga di emperan dekat tempat pemungutan suara rerasan mengenai hal itu seakan jamak. Masyarakat pun membicarakan politik uang secara terbuka.

Minggu (18/4) pagi itu situasi Pasar Segamas relatif sepi pengunjung. Demikian pula dengan lapak, kios, los, dan toko yang berjajar di pasar tersebut. Namun, sebagian besar masih buka seperti biasa, termasuk Endang (48), yang membuka kios sembako di Blok E pasar tersebut.
Endang dan ratusan pedagang di pasar tersebut Minggu pagi itu tak ikut mencoblos dalam Pilkada Purbalingga. Bagi Endang, mencoblos bukan kewajiban, tapi hak. Selain sibuk berdagang, dia merasa tak ada yang menarik dari tiga pasangan calon yang ada. Lebih kecewa lagi, di saat sejumlah rekannya sesama pedagang pasar menerima uang dari salah satu tim sukses calon, dia tak mendapatkannya.
"Laka amplope ya inyong ora milih (Tidak ada amplopnya, ya saya tidak memilih)," celetuk Endang (48) sambil tertawa lebar. Tak jelas pasti apakah itu hanya guyonan atau benar-benar ekspresi kekecewaan warga pasar karena tak mendapatkan jatah uang politik yang sebetulnya terlarang secara hukum itu.
Namun yang pasti, ceplosan Endang itu diamini rekan-rekannya sesama pedagang yang lain yang saat itu ikut ngobrol. "Lha iya, inyong yo ora olih. Tapi ya wis. Durung rezekine," kata Tuti (35), pedagang lainnya.
Menurut Tuti, semestinya kalau yang lain mendapat uang, pasangan calon juga memberi semua pedagang. "Kan kalau begini dadi iren-irenan (saling iri). Ana sing olih, ana sing ora (ada yang mendapat, ada yang tidak)," tutur Tuti.
Ada hal yang ironis dari obrolan ringan para pedagang di pasar tersebut, bagi-bagi uang politik dalam pilkada serasa sebagai hal yang jamak. Kalau menerima dianggap rezeki, kalau tidak dianggap tak rezeki. Repotnya lagi, jika tak terima uang mereka justru merasa diperlakukan tak adil, walau mereka sadar bahwa uang politik seperti itu tidak benar. Lebih fatal lagi, mereka menjadi tak semangat pergi ke TPS untuk mencoblos karena tak kebagian uang.
Ironisme ini bukan hanya di pasar. Begitu blak-blakannya praktik politik uang bahkan terungkap dalam pembicaraan warga di dekat TPS. Mereka tanpa ragu bertanya kepada sesama pemilih yang datang ke TPS apakah sudah menerima uang atau belum dari salah satu tim sukses pasangan calon.
"Wis olih apa durung, Kang? Jarene mambengi ana bagi-bagi (Katanya tadi malam ada pembagian)," tanya Suparman (36), warga Desa Kalikajar, Kecamatan Kaligondang, kepada seorang pria separuh baya. Dialog itu terjadi di depan TPS 07 Desa Kalikajar saat mereka sedang antre di depan TPS sebelum mencoblos. Tak ada rasa malu, takut, atau pun segan saat membicarakan hal yang secara hukum sebenarnya "tabu" itu.
Praktik politik uang memang telah sedemikian "terbiasa" berjalan dalam hajatan politik di negeri ini. Praktik bagi-bagi uang pun seakan menjadi hal yang biasa dan masyarakat tak menganggapnya tabu meskipun tahu itu salah.
Di pihak lain, bagi calon dan tim suksesnya, politik uang masih dipandang sebagai jurus pamungkas merebut suara. Minimnya investasi politik sebelum pencalonan membuat sebagian mereka memilih jalur pintas merebut suara sebanyak-banyaknya dengan politik uang. (M Burhanudin)

sumber: Kompas

Tag : POLITIK
Back To Top